Kamis, 04 Agustus 2016

MAKALAH SELUK BELUK PEMIKIRAN STRUKTURALIS LEONARD BLOOMFIELD DAN PEMIKIRAN GRAMATIKA MAZHAB KUFAH

SELUK BELUK PEMIKIRAN STRUKTURALIS LEONARD BLOOMFIELD DAN PEMIKIRAN GRAMATIKA MAZHAB KUFAH

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Pemikiran Linguistik Arab
Dosen Pengampu: Muhammad Yunus Anis, S.S, M.A





Disusun Oleh:
Mohammad Yasir (C1013034)




PROGRAM STUDI SASTRA ARAB
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2015



KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah menganugrahkan kita nikmat iman, islam, dan sehat sehingga kita masih dapat menimba ilmu dengan baik. Sholawat serta salam selayaknya senantiasa kita panjatkan kehadirat Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang penuh dengan cahaya ilmu.
Bahasa memiliki banyak bidang kajian, salah satunya ialah kajian gramatika, atau yang dikenal dengan ilmu nahwu dalam kajian Bahasa Arab. Perkembangan ilmu bahasa, khususnya gramatika tentu mendapat dorongan besar dari para ulama bahasa terdahulu, diantaranya para ulama nahwu mazhab Kufah dan pemikir besar Leonard Bloomfield. Pemikiran para ulama ini dalam bidang bahasa memberikan pengaruh besar pada dunia kebahasaan. Leonard Bloomfield dengan pemikiran strukturalisnya terhadap bahasa secara umum memberikan pengetahuan komprehensif bahwa setiap bahasa tersusun atas bagian-bagian kecil struktural. Pun demikian dengan para ulama nahwu mazhab Kufah yang banyak memberikan kekuatan ilmu dalam kajian gramatika Bahasa Arab secara khusus.
Penulisan makalah ini bertujuan tentunya untuk menuangkan dan mengabadikan ilmu dalam bentuk tulisan yang penulis miliki terkait pemikiran gramatika mazhab Kufah dan pemikiran strukturalis Leonard Bloomfield. Selain itu, penulisan makalah ini juga ditujukan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah pemikiran linguistik Arab yang diampu oleh Bapak Muhammad Yunus Anis, S.S, M.A. Semoga makalah yang telah disusun ini bisa menambah wawasan keilmuan dalam bidang kajian semantik, yang selanjutnya bisa dijadikan salah satu rujukan akademik di kalangan para akademisi.

Ismailia, 31 Desember 2015

Penulis



DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Abstact iii
Bab I Pendahuluan 1
Bab II Pembahasan 2
  1. Pemikiran Gramatika Mazhab Kufah 2
  1. Kajian Fonologi (Dirasat Ash-Shoutiyah) 8
  2. Kajian Gramatika 9
  1. Pemikiran Strukturalis Leonard Bloomfield 12
Bab III Penutup 17
Daftar Pustaka
ABSTRACT

This paper describes about The Gramaticians of Kufah and The Structuralist Leonard Bloomfield. They all are the masters of linguistic commonly and specificly in arabic language. Their thinking are almost same, talk about language consists of many little items that arranged being a real language. The difference of them is the space of their thinking. Leonard Bloomfield thinks in his structuralic concept, that every word are always consist of phonemes and every sentence are always consist of words, and forth. That concept doesn’t change the words or the sentences or the pharagraphs we analyze. It just describing the structural of the words or sentences or the other. But The Gramaticians of Kufah think in their space, that every sentence have to be right in arrangement and the using of vocabularies. This concept may change the sentences we analyze according to the rule of language they agree it, to correct the wrong on them.

Keywords: The Stucturalist Leonard Bloomfield, The Gramatician of Kufah, Structuralic language concept, Gramatical arabic language concept
  1. PENDAHULUAN
Kodifikasi al-Qur’an merupakan faktor utama yang menjadikan bahasa Arab mampu meningkakan kedudukannya dari suatu dialek menjadi bahasa internasional, dan kegiatan kodifikasi Arab telah membangkitkan motivasi para linguis Arab untuk melakukan kajian bahasa (Chejne, 1996: 41). Mereka adalah Bashrah dan Kufah dua aliran utama dalam khasanah pemikiran linguistik Arab. Hasil pemikiran tentang linguistik Arab yang sampai pada kita saat ini adalah buah pemikiran mereka.
Munajat (2009, forum studi nahwu.com) mengemukakan secara sederhana perbedaan kedua aliran nahwu tersebut terletak pada perbedaan pendekatan dan metodologi yang digunakan oleh kedua aliran bahasa tersebut dalam mengkaji bahasa.  Dengan demikian tidak mengherankan kalau dalam prakteknya kedua aliran tersebut selalu mengedepankan pendekatan yang berbeda dan pada akhirnya pemikiran yang mereka hasilkan juga berbeda. Dalam hal ini aliran Bashrah terkenal dengan pendekatan ta’lil dan falsafi yang cenderung preskriptif sementara Kufah terkenal dengan pendekatan riwayah yang cenderung deskriptif.
Perkembangan ilmu bahasa tidak berhenti pada masa mazhab nahwu ini, melainkan berlanjut ke masa-masa setelahnya. Menjelang akhir abad ke-19, muncullah seorang tokoh ahli bahasa asal Amerika yang terkenal dengan pemikiran strukturalismenya. Leonard Bloomfield yang merupakan lulusan Harvard ini memberikan pengaruh besar dalam dunia linguistik dengan pemikirannya yang menguraikan bahasa. Di bawah pengaruh psikologi mentalisme dan behaviorisme, Bloomfield tercatat sebagai salah satu tokoh linguistik yang wajib diketahui oleh seluruh para pembelajar bahasa.
Berlatar belakang pengetahuan di atas, penulis akan mencoba memaparkan makalah tentang pemahaman gramatika mazhab Kufah dan pemikiran strukturalis Leonard Bloomfield. Semoga makalah ini bisa memberikan sumbangan ilmiah tentang pemikiran mazhab Kufah dan Bloomfield yang keduanya memiliki peran penting dalam dunia linguistik.
  
  

  1. PEMBAHASAN
  1. Pemikiran Gramatika Mazhab Kufah
Mazhab kufah muncul setelah berkembangnya mazhab Bashrah. Syalabi (2003: 167 Jilid III) mengemukakan mazhab Kufah merupakan pecahan dari mazhab Bashrah. Meskipun mazhab Kufah muncul lebih akhir dari mazhab Bashrah dalam bidang kajian filologi Arab, namun banyak tokoh yang memberikan banyak sumbangan pemikiran, dan karya, dalam pengembangan bahasa Arab.
Tokoh-tokoh mazhab Kufah terbagi atas 5 angkatan atau Thabaqoh. Dikutip dari al Thanthowi (2005: 69-72) dan Mushtafa Showi al-Fâdhili (2002: 45-46), tokoh-tokoh mazhab Kufah diantaranya sebagai berikut:
  1. Generasi Pertama (al-thabaqoh al-ula)
  1. Al-Ru’asi
Nama asli beliau adalah Abu Ja’far Muhamad Ibnu al-Hasan. Beliau dijuluki ar-Ru’asi karena mempunyai kepala yang besar. Beliau dibesarkan di Kufah, kemudian datang ke Bashrah dan belajar kepada Isa Ibnu Umar, Abu Amr Ibnu al-‘Ala’i dan kembali ke Kufah untuk mempelajari Nahwu bersama pamannya, Mu’adz al-Hara’I (Thanthowi 2005: 69) dan (Makhjumi, 1958: 75), selain belajar dari Al-Kisa’i.
Al-Ru’asi mengarang kitab Nahwu al-Fashal, yaitu kitab yang pertama kali muncul dan membahas tentang studi Nahwu madzhab Kufah. Ibnu Nadim dan Ibnu Anbari juga menyebutkan bahwa ar-Ru’asi ini memiliki banyak karya dalam ilmu Nahwu, diantaranya yaitu: al-Faishal, at-Tashghîr, Ma’ani al-Qur’an, al-Waqf wal-Ibtidâ’, dan sebagainya. Al-Ru’asi wafat di Kufah pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid.
  1. Mu’adz al-Hara’i
Nama aslinya adalah Abu Muslim Mu’adz Ibn Muslim al-Harrâ’i. Beliau tinggal di Kufah dan mendalami Nahwu bersama keponakannya, yaitu al-Ru’asi dan menyebarkan prinsip-prinsip Nahwu madzhab Bashrah di kufah (Thantowi, 2005: 69). Beliau sangat mahir dalam menguasai Nahwu dan Sharf.
Menurut as-Suyȗthi dan Jubaidi dalam (al-Makhjumi 1958: 76), orang pertama yang menyusun buku tentang tashrif adalah Mu’adz. Karya Mu’adz ini diadopsi dari kumpulan pengetahuan tentang nahwu dan sharf dari buku Masâil al-Tadrîb, namun ilmu sharaf pada masa itu belum diketahui pemisahan kajian Sharaf dan Nahwu. Beliau  juga menambahkan bahwa pemisahan kajian antara Nahwu dan Sharaf terjadi setelah masa Sibawaih. Sejak saat itu, tashrîf mulai dikenal sebagai pengetahuan yang mandiri sejak abad ke-2 H ketika susunannya diperbaharui oleh Uthman Ibn Baqiyah al-Maziniy dalam kitabnya at-Tahsrîf setelah sekian lama menjadi bagian dari studi Nahwu. Ia wafat di Kufah pada tahun 187 H.
  1. Generasi Kedua (al-thabaqah al-tsaniyah)
  1. Al-Kisâ’i
Nama lengkapnya ialah Abu Hasan Ali ibn Hamzah, berkebangsaan Persia. Sedangkan  Al-Kisâ’i  merupakan julukan yang diberikan kepadanya (al-Thantowi, 2005: 70). Julukan tersebut diperoleh karena beliau menghadiri sebuah majlis Hamzah ibn Habib az-Ziyât dengan memakai baju (كساء) hitam yang mahal. Beliau lahir di Kufah pada tahun 119 H dan wafat pada 189 H dalam perjalanannya menuju Tus (sebuah wilayah di Persia).
Al-Kisa’i giat mengikuti beragam majlis qirâ’ah dengan guru-guru yang beraneka pula. Salah satunya, pembacaan syair yang dipimpin oleh Khalîl ibn Ahmad. Hingga akhirnya Al-Kisâ’i paham bahwa syair-syair tersebut bersumber dari masyarakat Badui yang atau yang  bermukim di Hijaz, Nejed dan Tihamah. Beliau merupakan pengganti imam qirâ’ah, yaitu setelah meniggal gurunya Hamzah, karya karya beliau adalah Ma’âni al-Qur’an, Kitabu al-Qiroât, Kitab al-A’dad, dan Kitab al-Nawâdir al-Shogîr wa al-Kbîr (Al-Makhjumi: 1959: 106). 
Sumbangan Pemikiran Al-Kisâ’i yang diambil dari Munajat (2009), adalah sebagai berikut:
  1. diperbolehkannya ta’kid kata yang sebenarnya berhubungan, tetapi kata tersebut terhapus dalam penggunaannya dan digantikan oleh waw athaf sebagai gantinya. Contoh: جاء الذى ضربت نفسه، أى: ضربته نفسه
  2. tambahan huruf jar من dalam perkataan/firman Allah Swt yang positif. Contoh: seperti firman Allah Swt: و يغفر لكم من ذنو بكم، ولقد حاءك من نبإ المر سلين
  3. diperbolehkannya penggunaan kataإن setelah bertemu dengan kata ما. Contoh: إنما زيدا قائم
  4. Bahwa لعل bermakna taqlil (minimal). Contoh: seperti firman Allah Swt فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو يخشى
  5. Bahwa لولا terkadang juga bermakna هلا. Contoh: seperti firman Allah Swt فلو لا كانت قرية آمنت فنفعها إيمانها
  1. Generasi Ketiga (al-thabaqah al-tsalitsah)
  1. Al-Ahmar
Terlahir dengan nama lengkap Abu Hasan Ali Ibn Hasan, tetapi terkenal dengan nama al-Ahmar (Thanthowi 2005: 71). Beliau merupakan salah seorang murid Al-Kisâ’i yang wafat dalam pelaksanaan haji pada tahun 194 H.
Disebutkan oleh Tsa’lab  bahwa beliau hapal 40 ribu syahid (kutipan, contoh) tentang nahwu. Adapun karyanya adalah Maqâyis al-Tashrîf, Tafannun al-Balghâ’i (Munajat, 2009).
  1. Al-Farâ’
Nama lengkapnya ialah Abu Zakariya Yahya Ibnu Ziyâd ibn Abdullah ibn Marwan al-Dailumiy. Lahir di Kufah pada tahun 144 H, berkebangsaan Persia dan meninggal pada tahun 207 (al-Thanthowi, 2005: 71).
Beliau memiliki minat yang sangat tinggi terhadap ilmu, ketekunan dalam belajar serta rajin mengikuti kajian-kajian  yang dihadiri para ulama, baik di Kufah maupun Bashrah, seperti qiro’ât, fiqih, dan Hadis, perowi puisi Arab, yang menjadikan beliau berilmu tentang ilmu bahasa Arab, Islam, dan ilmu lain (Najmudin, 2008:3). Guru bahasa dan nahwunya adalah Abi Ja’far ar-Ru’asiy dan Al-Kisa’i. Beliau juga seorang murid Al-Kisa’i yang banyak mendapat pengetahuan riwayat mengenai bangsa Arab dari gurunya.
Selanjutnya, beliau juga meneruskan studinya ke Bashrah setelah kematian Khalil ibn Ahmad, yang kemudian posisinya digantikan oleh Yunus ibn Habib. Hingga akhirnya, dia belajar kepada Yunus mengenai nahwu dan bahasa. Adapun karya-karyanya cukup banyak, di antaranya adalah: Lughatu al-Qur’an, an-Nawâdir, al-Kitâb al-Kabîr fi al-Nahwi, dan karangan yang sampai pada kita saat ini adalah Ma’ani al-Qur’an.
Diantara hasil pemikirannya yaitu sebagai berikut:
  1. Mengakhirkan Khabar apabila  diawali dengan إن. Contoh: إن العلم نور قول المشهور
  2. Diperbolehkannya menggunakanل  ibtida bagi kata-kataنِعْمَ  dan بِـئْسَ  Contoh: إن محمدا لنعم الرجل
  3. Digunakannya إلا untuk sebagai pengganti و dalam perkataan maupun makna. Contoh: seperti firman Allah SWT: لئلا يكون للناس عليكم حجة إلا الذين ظلموا منهم
  4. Diperbolehkannya penggunaan athaf pada dua pernyataan yang berbeda di dalam ilmu nahwu. Contoh:فى الدر زيد والحجرة عمرو؛ بعطف الحجرة على الدار، و عمرو على زيد  dan lain-lain.
  1. Al-Lihyâni
Nama lengkap Abu Hasan Ali ibn Mubarak, sedangkan nama  al-lihyân sebagai bentuk penghormatan terhadap lihyân-nya (jenggot). Wafat pada tahun 220 H.  Selain berguru kepada Al-Kisâ’i, dia juga belajar kepada Abi Zayd, Abi Ubaidah dan lainnya (al-Thantowi, 2005: 72).
  1. Generasi Keempat (al-thabaqah al-rabi’ah)
  1. Ibnu Sa’dân
Nama lengkapnya ialah Abu Ja’far Muhammad Ibnu Sa’dân al-Dharir. Lahir di Baghdad pada tahun 161 H, sedangkan tumbuh besar di Kufah. Kemudian meninggal dunia pada tahun 231 H, dengan menulis satu buku Nahwu dan lainnya buku-buku mengenai Qira’ât (al-Thantowi, 2005: 72).




  1. Ath-Thuwâl
Beliau bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah al-Thuwâl, dan tumbuh di Kufah. Wafat pada tahun 234 H.  Belajar nahwu kepada Al-Kisâ’i. Kemudian ke Baghdad dengan mengikuti majlis Qira’ah Abu Umar dan al-Dauri (al-Thantowi, 2005: 72).
  1. Ibnu Qadim
Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad Ibnu Abdullah Ibnu Qâdim. Wafat pada tahun 251 H.  Ibnu Qadim mempelajari nahwu dari al-Farra, dan Tsa’lab. Adapun karya nahwunya adalah: al-Kâfi dan al-Mukhtashir dan beliau wafat di Bagdâd (al-Thantowi, 2005: 72).
  1. Generasi Kelima (al-thabaqah al-khamisah)
  1. Tsa’lâb
Nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad ibn Yahya Ibn Yazid, tetapi terkenal dengan Tsa’lâb. Beliau berkebangsaan Persia, namun lahir dan tumbuh di Baghdâd dan beliau adalah pinpinan bani Ayaiban (al-Thantowi, 2005: 72). Tahun kelahiran beliau pada 200 H
Sejak kecil sudah mempelajari berbagai ilmu; membaca, menulis, menghapal al-Qur’an dan sya’ir Arab. Karya beliau adalah Majâlis Tsa’lâb di dalamnya merangkum berbagai pemikirannya tentang nahwu, bahasa, makna al-Qur’an dan syair-syair asing, Al-Fashih Qawâidu al-Syi’ri. Adapun karyanya yang membahas tentang nahwu adalah Ikhtilâfu al-Nahwiyîn, Ma Yansharifu wa ma lâ yansharif, Haddu al-Nahwi.
Pendapat mengenai kajian Nahwu menurut al-Kasa’I dan al-Farâ’ sama pernyataan para linguis Bashrah, menurut Shibawih di dalam (Makhjumi, 1958: 163) adalah sebagai berikut:
دراسة في النحو الاصطلاحي : إلى جانب دراسات في التصريف أو الاشتاق, و ما يتعلق ببناء الكلمة العام, إلى جانب عرض لبعض الظواهر اللغوية, التي تنبى على ما للأصوات من خصائص حين يتألف مع بعضها  بعض في ثنايا الكلمات كالادغام, و الإمالة, و الإبدال, وغيرها
“Menurut istilah, adalah studi kajian pada aspek morfologis atau al-Tashsif, derivasi kata atau al-Isytâq serta dengan hal yang berkaitan dengan aspek struktur kata. Berdasarkan aspek luar bahasa, studi nahwu mencakup studi fonologi. Yang mengkaji struktur kata yang terusun dari suara yang keluar dari alat ucap, seperti idhgham, imâlah, ibdâl, dan lain lain.
Berdasarkan pemaparan, ada kajian yang dilakukan oleh pendahulu mazhab Kufah yaitu al-Kasâ’i dan al-Fara’:
  1. Kajian fonologi, mencakup idhgam,imâlah, ibdâl, dan lain lain.
  2. Kajian Morfologis atau Sharaf, dengan objek kajian Isyatâq atau derivasi.
  3. Kajian Nahwu atau sintaksis.
Al-Makhjumi (1958: 162) mengemukakan bahwa makna dari studi nahwu atau dirôsatu al-nahwi bermaksna khusus atau kajian kebahasaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa ketika masa tersebut, objek kajian belum terpisah karena masih di dalam satu kategori kajian yaitu nahwu.
Menurut al-Makhjumi (1958: 163) ada dua ciri kajian madzhab Kufah pada masa itu:
  1. Para pendahulu mazhab Kufah belum memiliki memiliki landasan filsafat tersendiri di dalam mengkaji bahasa, mengapa demikian karena studi mereka masih pada tataran mulâhadoh atau pengematan dan ikhtibâr atau evaluasi, karena masih bersandar pada pirsip-prinsip bahasa secara umum.
  2. Para pendiri kufah kebanyakan mengajar di istana khalifah, namun studi yang dilakuakn oleh ulama kufah seperti yang dilakuakn al-Fara’ di dalam kitabnya ma’âni al-Quran masih tercampur pembahasan kajiannya.
Pemaparan di atas merupakan sedikit gambaran yang dilakukan oleh pendahulu mazhab Kufah pertama hingga kedua yang memberikan dasar-dasar pijakan yang relatif kuat dalam pembelajaran Nahwu, meskipun kecenderungan ini bermula dari pembelajaran mereka terhadap mazhab Bashrah.
Di dalam kajian bahasa, pertama yang harus dilakukan adalah kajian yang berkaitan dengan suatu bentuk, dan karakteristik, lalu sharaf, dan nahwu. Berikut ini kajian kebahasaan yang dilakukan oleh mazhab Kufah:
  1. Kajian Fonologis (al-dirôsah al-shautiyah)
Kajian fonologis yang dilakukan oleh ulama terdahulu masih pada tataran artikulatoris atau makhôriz al-Hurȗf. Perlu diketahui bahwa pencetus pertama kajian pada bidang ini adalah para ulama bashrah yaitu al-Halîl. Ia memberikan 8 pembagian artikulator pada bahasa Arab dan Sibawaih memberikan 16 pembagian artikulator pada huruf bahasa Arab (Husan A, 2004: 44-47).
Namun menurut al-Mahkjumi (1958: 169), sebelum al-Farâ, belum ada kajian mengenai bidang ini. Namun kajian ilmu al-ashwât yang dilakuan oleh ulama kufah adalah adalah qiro’âh yang dilakukan oleh para qori’ terhadap al-Qur’an baik dari segi al-Makhôrij  dan al-Tajwîd.
Menurut al-Makhjumi (1958: 171) ada dua faktor mazhab Kufah berada di belakang pada kajian ini, pertama adalah karena kajian ini telah dilakukan oleh pendahulunya di Bashrah yaitu al-Halîl yang memiliki hubungan erat dengan al-Kasâ’i. Kemudian Al-Fara’ menerima hasil kajian Sibawaih.  Kedua, ulama Kufah lebih terfokus pada tataran qirô’ah dan ilmu-ilmunya. Hal tersebut merupakan dasar serta keunggulan dari mazhab Kufah. Sebagaimana kita ketahui bahwa al-Kasî’i merupakan salah satu imam qoroatu al-sab’ah, dan al-Fara’ adalah periwayat huruf al-Qur’an dan tafsir.
Adapun masalah-masalah yang dikaji oleh al-Kasâ’i dan al-Farâ mazhab Kufah pada kajian ini (Makhjuni 1958: 171) adalah sebagai berikut:
  1. Idghamu al-ra’ fi al-lâm (إدغام الراء في اللام). Hal yang mendasari perlu adanya idhgham  adalah apabila Huruf ra diidghamkan dengan lam, maka ra menjadi lâm. Seperti pada kata ويغفر لكم. Kemudian al-Farâ menambahkan di dalam bukunya ma’âni al-Qur’an, bahwa kasus idhgham terjadi pada banyak kasus, beliau menambahkan idgham tiga ( الطاء, الظاء, الذال) terhadap huruf tha.
  2. Kasusأحتَّ  antara tha dengan dza. Kasus أحطتَ بما لم تُحِطْ به. Al-Fara menjelaskan bahwa apabila terjadi pertemuan antara tho dengan ta,  maka tho disukunkan dan tho menjadi ta, maka menjadi أَحتَّ.
  3. Kasusأوعتَّ أم لم تكن من الواعظين  antara dho dan ta.





  1. Kajian Gramatika
Pada topik ini, penulis hanya membahas tentang istilah-istilah tata bahasa mazhab Kufah yang diambil dari karya Tamam (2000: 40-43).
Tabel 1. Istilah tata bahasa
التفصيل
المصطلحة
رقم
عامل ينصب الخبر في النحو (زيد أمامك)
الخلاف
1
عامل ينصب المفعول معه في مثل (جاء أحمد و طلوع الشمس
الصرف
2
مثل (هذا) في هذا زيد قائما, في هذا الموضوع من إخوات كان
التقربيب
3
اسم الفاعل في مصطلح البصريين
الفعل الدائم
4
الضمير عند البصريين
المكى و الكناية
5
ضمير الشأن
المجهول
6
الحال في نحو (رأيت زيدا ظريفا )
القطع
7
ضمير الفصل
العماد
8
المفعول المطلق أو فيه أو معه أو لأجله
شته المفعول
9
الظرف
الصفة أو المحل
10
التبديل
الترجمة
11
التمييز
التفسير
12
الصفة عند البصريين
النعت
13
لا : النافية للجنس
لا " التبرئة
14
العطف بالحرف في مصطلح البصريين
عطف النسق
15
الإنكار
الجحد
16
الحرف الزائد
الحشو أو الصلة
17
المنصرف أو غير المنصرف
ما يجرى و ما لايجرى
18
لام الابتداء عند البصريين
لام القسم
19
الصفة التى قامت مقام الموصوف
الخلف
20
إبدال مصطلحات كل من ألقاب الإعراب و البناء و الأخر.
21
Perlu diketahui bahwa dalam perbedaan tentang masalah-masalah Nahwu, pembenaran tidak diarahkan mana yang benar di antara mazhab Kufah dan Bashrah, namun yang menjadi pembeda keduanyanya adalah masalah ta’wîl  dan takhrîj dan pada dasarnya untuk masalah ushul keduanya sama (Tamam, 2000: 42).  Berikut ini beberapa kesamaan ushȗl antara madrasah Kufah dan Bashrah:
Tabel 2. Kesamaam ushȗl antara Madzhab Kufah dan Bashrah
مشاركة بين مدرستين
رقم
قد يحذف الشيئ لفظا ويثبت تقديرا
1
ما حذف لدليل فهو حكم الثابت
2
لا حذف إلا بدليل
3
الخفض من الخصائص الأسماء
4
التصرف من خصائص الأفعال
5
استصحات الحال من أضغف الأدلة
6
يجوز أن يثبت للأصل ما لا يثبت للفوع
7
لا يجمع عاملان على معمول واحد
8
رتبة العامل قبل رتبة المعمول
9
حمل الكلام على ما فيه فائدة أشبه بالحكم من حمله على ما ليس فيه فائدة
10
Pade table di atas memberikan sedikit gambaran mengenai istilah pada tataran grammatika bahasa Arab dan Ushȗl. Serta karakteristik istilah dan masalah di antara keduanya. Kemudian ada beberapa hasil studi aliran Bahsrah yang tidak diterima oleh ulama Kufah.
Adapun karakteristik mazhab Kufah yang diambil dari (Tamam, 2000: 37) terdapat tiga ciri, yakni sebagai berikut:
  1. Mazhab Kufah, mengembangkan penelitian bahasa melauli al-riwâyah. Di dalam penelitiannya, mazhab Kufah tidak terfokus dalam memahami aspek kefasihan, sebagaimana yang dilakukan oleh mazhab Bashrah. Jika para linguis mazhab Bashrah memperoleh korpus dari kabilah-kabilah pedalaman, maka mazhab Bashrah melakukan qiyas terhadap korpus data yang mereka peroleh dari suku Qois, Assad, Tamîm. Hudzal, dan semuanya merupakan kabilah-kabilah yang fashih.
  2. Mazhab Kufah lebih fleksibel di dalam hal qiyâs. Menurut pandangan mereka, jika syarat benarnya suatu qiyas atau analogi telah benar menurut jumhur mazhab Bashrah, maka Kufiyyin sepakat.
  3. Penggunaan istilah-istilah nahwu dan hal-hal yang berkaitan dengan ‘âmil dan ma’mȗl, yang digunakan oleh mazhab Kufah berbeda dengan mazhab Bashrah.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh al-Fara (Najmudin, 2008: 8) dan (Makhjumi, 1958: 330-336), sumber kajian yang dilakukan oleh mazhab Kufah adalah sebagai berikut:
  1. Al-Qur’an
Al-Farâ menjadikan al-Qur’an sebagai objek kajian dengan empat syarat, sebagai sumber yang paling esensial dalam penetapan kaidah nahwu. Syarat tersebut adalah:
  1. Qirâ’ah tidah bertentangan dengan rasm al-mushaf. 
  2. Qirâ’ah tidak melanggar aturan yang telah dibuat oleh para qurra’.
  3. Qirâ’ah tidak bertentangan dengan bahasa arab fasih.
  4. Qirâ’ah shadhah harus memiliki dua sarat, pertama sesuai dengan makna penafsiran, dan tidak bertentangan dengan kaidah bahasa Arab
  1. Al-Hadits
Menurut Najmudin (2008: 8) berpendapat bahwa al-Farâ seorang tokoh nahwu dari aliran Kufah yang menjadikan al-Hadits sebagai sumber dalam menetapkan kaidah nahwu. Beliau menambahkan bahwa di dalam bukunya Mâ’ani al-Qur’an terdapat tiga belas hadits, topik kajiannya tentang lâm amr masuk pada fiil mudhaari.

  1. Pendapat Ulama Mazhab Bashrah
Para ulama Kufah dalam menetapkan suatu kadiah, membuat suatu rujukan yang dinisbatkan kepada ulama Bashrah seperti Isa bin Umar, al-Khalîl bin Ahmad, dan Yunus bin Habîb, sebagaimana kita ketahui bahwa al-Kasâi mempelajari buku karangan al-Akhfâsi, begitu juga dengan al-Farâ (Makhjumi, 1958: 330).
  1. Dialek-Dialek Arab yang mu’tamad di kalangan ulama Mazhab Bashrah
Dialek tersebut adalah Arab Badui yang berada di pinggiran kota, dan dialek mereka belum terpengaruhi oleh bahasa lain, adapun kabilah-kabilah tersebut adalah (Qois, Tamîm, asad,  Khudzail, Kinânah,) dan lain lain (Makhjumi, 1958:  331).
  1. Kabilah-Kabilah Arab
Sebagaimana pemaparan di atas, bahwa al-Farâ menjadikan kabilah-kabilah Arab sebagai salah satu sumber rujukan penetapan kaidah bahasa Arab, terutama pada syair-syair jahili, dan islami (al-Makhjumi 1958: 334).
  1. Syair Arab
Ulama mazhab Kufah menjadikan syair Arab sebagai sumber dalam menetapkan kaidah bahasa Arab. Menurut Najmudin (2008: 8) di dalam  buku al-Farra  Ma’âni al-Qur’an terdapat 926 bait puisi, mulai dari puisi Jâhili, Islâmi, dan  Umâwi.
  1. Pemikiran Strukturalis Leonard Bloomfield
Leonard Bloomfield lahir pada tanggal 1 April 1887, di Chicago. Dia lulus dari Harvard College pada usia 19 dan melakukan pekerjaan pascasarjana selama 2 tahun di University of Wisconsin, dimana ia juga mengajar di Jerman. Minatnya dalam linguistik terangsang oleh Eduard Prokosch, seorang ahli bahasa di departemen Jerman. Bloomfield menerima gelar doktor dari University of Chicago pada tahun 1909.
Pengaruh linguis Amerika Leonard Bloomfield (1887-1949) didominasi ilmu linguistik dari tahun 1933 -ketika karyanya yang paling penting, Language, diterbitkan- untuk pertengahan 1950-an.
Dalam menganalisis bahasa, Bloomfield dipengaruhi oleh 2 aliran psikologi yang saling bertentangan yaitu mentalisme dan behaviorisme. Pada mulanya beliau menggunakan prinsip-prinsip mentalisme (yang sejalan dengan teori psikologi Wundt). Di sini beliau berpendapat bahwa berbahasa dimulai dari melahirkan pengalaman yang menyenangkan terutama karena adanya tekanan emosi yang kuat. Jika melahirkan pengalaman dalam bentuk bahasa ini karena adanya tekanan emosi yang kuat maka muncullah ucapan (kalimat) ekslamasi. Jika pengalaman ini lahir dari keinginan berkomunikasi maka lahirlah kalimat deklarasi. Jika keinginan berkomunikasi ini bertukar menjadi kenginan untuk mengetahui maka akan menjadi kalimat interogasi.
Sejak tahun 1925 Bloomfield meninggalkan psikologi mentalisme Wundt lalu menganut paham psikologi behaviorisme Watson dan Weiss. Beliau menerapkan teori psikologi behaviorisme dalam teorinya yang kini terkenal dengan nama “linguistik struktural” dan “linguistik taksonomi”. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan linguistik Amerika, terutama di sekolah linguistik Yle yang didirikan menurut ajarannya. Bloomfield menerangkan makna (semantik) dengan rumus-rumus behaviorisme.
Akibatnya, makna menjadi tidak dikaji oleh linguis-linguis lain yang menjadi pengikutnya. Unsur-unsur linguistik diterangkannya berdasarkan distribusi unsur-unsur  tersebut di dalam lingkungan (environment) di mana unsur-unsur itu berada. Distribusi dapat diamati secara langsung sedangkan secara makna tidak bisa.
Teori linguistik Bloomfield ini akan bias diterangkan dengan lebih jelas kalau kita mengikuti anekdot “Jack and Jill” (Bloomfield, 1933:26). Dalam anekdot itu diceritakan Jack dan Jill sedang berjalan-jalan. Jill melihat buah apel yang sudah masak di sebatang pohon. Jill berkata kepada Jack bahwa dia lapar dan ingin sekali makan buah apel itu. Jack memanjat pohon apel itu; memetik buah apel itu; dan memberikannya kepada Jill.

Secara skematis, peristiwa itu dapat digambarkan sebagai berikut:
S r …………………………………..... s        R
(1)      (2)     (3) (4)    (5) (6) (7)
Penjelasan:
(1)  Jill melihat apel (stimulus)
(2)  Otak Jill bekerja mulai dari melihat apel hingga berkata kepada Jack.
(3)  Perilaku atau kegiatan Jill sewaktu berkata kepada Jack (r= respons)
(4)  Bunyi-bunyi atau suara yang dikeluarkan Jill waktu berbicara kepada Jack (…)
(5)  Perilaku atau kegiatan Jack sewaktu mendengarkan bunyi-bunyi atau suara yang dikelurkan Jill (stimulus)
(6)  Otak Jack bekerja mulai dari mendengar bunyi suara Jill sampai bertindak.
(7)  Jack bertindak memanjat pohon, memetik apel, dan memberikan kepada Jill (R= respons).
Nomor (3), (4), dan (5) yaitu (r  s) adalah lambang atau perilaku berbahasa (speech act) yang dapat diobservasi secara fisiologis; sedangkan yang dapat diamati atau diperiksa secara fisik hanyalah nomor (4).
Berdasarkan keterangan di atas, maka yang menjadi data linguistik bagi teori  Bloomfield adalah perilaku berbahasa atau lambang bahasa (r…………………………… s) dan hubungannya dengan makna (S R).  Apa yang terjadi di dalam otak Jill mulai dari (1) hingga (2) sampai dia mengeluarkan bunyi tidaklah penting karena keduanya tidak dapat diamati. Begitu juga dengan proses yang terjadi di dalam otak Jack setelah dia mendengar bunyi-bunyi yang membuatnya bertindak  (5 dan 6) juga tidak penting bagi teori Bloomfield ini.
Menurut Bloomfield, bahasa merupakan sekumpulan ujaran yang muncul dalam suatu masyarakat tutur (speech community). Ujaran inilah yang harus dikaji untuk mengetahui bagian-bagiannya. Lalu, bagi Bloomfield bahasa adalah sekumpulan data yang mungkin muncul dalam suatu masyarakat. Data ini merupakan ujaran-ujaran yang terdiri dari potongan-potongan perilaku (tabiat) yang disusun secara linear.
Teori linguistik Bloomfield didasarkan pada andaian-andaian dan definisi-definisi karena kita tidak mungkin mendengar semua ujaran di dalam suatu masyarakat tutur. Jadi, tidak mungkin kita dapat menunjukkan bahwa pola-pola yang kita temui dalam beberapa bahasa berlaku juga pada bahasa-bahasa lain. Ini harus diterima sebagai satu andalan. Kita tidak mungkin menunjukkan bahwa lambang-lambang ujaran dihubungkan dengan makna karena tidak mungkin mengenal satu per satu makna itu dalam data.
Menurut Bloomfield, bahasa terdiri dari sejumlah isyarat atau tanda berupa unsur-unsur vokal (bunyi) yang dinamai bentuk-bentuk linguistik. Setiap bentuk adalah sebuah kesatuan isyarat yang  dibentuk oleh fonem-fonem (Bloomfield, 1933;158).
Misalnya:
Pukul adalah bentuk ujaran
Pemukul adalah bentuk ujaran
Pe- adalah bentuk bukan ujaran
“Pukul” terdiri dari empat fonem, yaitu : /p/, /u/, /k/, dan /l/. Disini fonem /u/ digunakan dua kali.
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa setiap ujaran adalah bentuk, tetapi tidak semua bentuk adalah ujaran. Menurut Bloomfield ada dua macam bentuk, yaitu:
  1. Bentuk bebas (free Form), yakni bentuk yang dapat diujarkan sendirian seperti  bentuk amat, jalan, dan kaki dalam kalimat “amat jalan kaki”.
  2. Bentuk terikat (Bound Form), yakni bentuk linguistik yang tidak dapat diujarkan sendirian seperti bentuk pe- pada kata memukul, dan bentuk –an  seperti pada kata pukulan.
Dalam teori linguistik Bloomfield, ada beberapa istilah/term yang perlu dikenal, yaitu sebagai berikut:
  1. Fonem, adalah: satuan bunyi terkecil dan distingtif dalam leksikon suatu bahasa, seperti bunyi [u] pada kata bahasa Indonesia /bakul/ karena bunyi itu merupakan bunyi distingtif dengan kata /bakal/. Disini kita lihat kedua kata itu, /bakul/ dan /bakal/, memiliki makna yang berbeda karena berbedanya bunyi [u] dari bunyi [a].
  2. Morfem, adalah: satuan atau unit terkecil yang mempunyai makna dari bentuk leksikon. Umpamanya dalam kalimat “Amat menerima hadiah” terdapat morfem: Amat, me-, terima, dan hadiah.
  3. Frase, adalah: unit yang tidak minimum yang terdiri dari dua bentuk  bebas atau lebih. Umpamanya dalam kalimat “Adik saya sudah mandi” terdapat dua frase, yaitu frase Adik  saya dan frase sudah mandi.
  4. Kata, adalah: bentuk bebas yang minimum, yang terdiri dari satu bentuk bebas dan ditambah bentuk-bentuk yang tidak bebas. Misalnya, pukul, pemukul, dan pukulan adalah kata, sedangkan pe-, dan an, bukan kata tetapi semuanya pe-, -an, dan pukul adalah morfem.
  5. Kalimat adalah ujaran yang tidak merupakan bagian dari ujaran lain dan merupakan satu ujaran yang maksimum. Misalnya Amat duduk di kursi, Amat melihat gambar, dan Ibu dosen itu cantik.
Dari pembahasan di atas, penulis menganalisa bahwa ruang lingkup kajian mazhab Kufah adalah fonologi, morfologi, dan sintaksis bahasa arab, atau yang dikenal juga dengan istilah ilmu al-ashwat, ilmu ash-shorf, ilmu an-nahwu, sampai ilmu dilalah. Dalam kajiannya, mazhab Kufah langsung membahas contoh kasus bahasa atau contoh ungkapan untuk menghasilkan teori baru. Contoh tersebut didiskusikan sehingga muncul kesepakatan dari para ulama mazhab mengenai bagaimana ungkapan itu seharusnya. Penilaian benar atau salahnya ungkapan tersebut berdasarkan pada tashrif kata, susunan kalimat, dan kesesuaian makna kata yang digunakan dengan maksud tuturan. Pemikiran gramatikalnya tidak hanya sekedar benar susunan kalimatnya saja, tapi pun juga kesesuaian kata yang digunakan dari aspek tashrif dan maknanya.
Adapun Leonard Bloomfield, kajian bahasanya yang strukturalis menghasilkan istilah-istilah kebahasaan yang dikatakan sebagai bagian-bagian atau tahapan-tahapan bahasa. Istilah-istilah tersebut berdasarkan urutan dari unit terkecil ke terbesar adalah fonem, morfem, kata, frase, dan kalimat. Suatu unit memberikan peran terhadap unit lainnya, yaitu menjadi kerangka yang menyusun bagiannya yang lebih besar.
Kedua pemikiran yang berada di satu jalur ini dapat saling berhubungan meskipun ranah kajiannya tidak sama. Mazhab Kufah yang lebih dulu muncul telah memberikan pengetahuan tentang bahasa arab yang sangat luas. Dalam pengamalannya, ilmu tersebut lebih kepada praktik bahasa secara langsung. Berbeda dengan Bloomfield yang berbicara mengenai struktur bahasa, pengamalan ilmunya bisa dijadikan bahan untuk pembelajaran bahasa dari dasar. Meski demikian, kedua pemikiran ini bisa saling melengkapi. Teori-teori Bloomfield yang melingkupi bahasa secara umum tentu bisa diterapkan dalam bahasa arab.
Penggabungan kedua pemikiran ini bisa diaplikasikan salah satunya dalam pembentukan ungkapan bahasa arab. Misal: Ketika hendak membuat ungkapan atau bahkan paragraf berbahasa arab, maka kita perlu memperhatikan tujuan atau maksud ungkapan yang akan dibuat itu bagaimana, kita ambil contoh hendak membuat kalimat “Ali lebih mahir berkhutbah dari pada Utsman”. Selanjutnya, untuk membuat ungkapan tersebut, kata apa saja yang dibutuhkan beserta tashrifnya yang tepat. Berdasarkan contoh di atas, maka kita butuh kata-kata “lebih mahir berkhutbah dari pada”, adapun “Ali” dan “Utsman” hanya perlu ditulis dalam tulisan arab saja. Lalu kita tentukan bahasa arab dari kata-kata tersebut apa saja. Sebelum berangkat pada penyusunan akhir, kita perlu memperhatikan frase yang ada, agar penerjemahan dan tashrifnya disesuaikan. Berlandaskan pada morfologi dan sintaksis bahasa arab yang benar, maka kita dapatkan kalimat “علي أمهر من عثمان خطبة” (Aliyyu Amhara min ‘Utsmana khuthbatan) sebagai terjemahan dari maksud ujaran kita di awal.
  1. KESIMPULAN
Setelah membahas tentang pemahaman gramatika mazhab Kufah dan pemikiran strukturalis Leonard Bloomfield, dapat disimpulkan bahwa:
  1. Kajian ulama Kufah dalam bidang nahwu mencakup aspek ilmu al-ashwât (fonologi), dan binyah al-kalimah yang bahasannya mencakup masalah isytâq dan tashrîf. Adapun kajian Leonard Bloomfield mencakup struktural bahasa dari yang terkecil sampai terbesar.
  2. Sumber kajian mazhab Kufah adalah al-Qur’an, al-Hadits, puisi, dialek badui, pendapat ulama Bashrah, dan lain lain. Adapun yang menjadi sumber belajar Leonard Bloomfield ialah aliran psikologi mentalisme dan behaviorisme yang mempengaruhi bahasanya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Makhjumi. (1958). Madrasatu al-Kufah wa manhajuha fi dirâsati al-lughah wa al-nahw. Al-Qohirah: Musatafa al-Halabi
Al-Thantowi, A. (2005). Nasyaatu al-Nahwi wa Tarîkhu Asyhuri al-Nȗhat. Beirut: Alamu al-Kutub
Anonim. (2013). Mazhab Linguistik Kufah. [Online]. Website: http://pujanggatimurtengah.blogspot.com.eg/2013/11/kufah-mazhab-linguistik-kufah.html (Diakses 30 Desember 2015)
Anonim. (2014). Aliran Linguistik Struktural Bloomfield. [Online]. Website: https://pelangiindonesia2013.wordpress.com/2014/03/03/aliran-bloomfield/ (Diakses 30 Desember 2015)
Chaer, A. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chejne, A. (1996). The Arabic Language its Role in History, terjemah Mahfudin. Jakarta: P2LPTK DEPDIKNAS.
Munajat, F. (2009). Nahwu Mazhab Kufah. [online]. Website:     http://forumstudinahwu.blogspot.com/2009/05/nahwu-mazhab-kufah.html (Diakses 30 Desember 2015)
Najmudin, H. (2008). Perbandingan Metode Nahwu Al-Akhfasi dan Al-Farra dalam Kitab Ma’ani Al-Qur’an. Jurnal Bahasa dan Seni.140, (2), 93-104.
Syalabi, A. (2003). Sejarah Kebudayaan Islam Jilid III. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru.
Tamam, H. (2000). Al-Ushȗl dirasatu epistymologi li al-tafkîr al-alugowi ‘inda al-Arob. Qohirah: ‘Alamu al-Kutub

Tidak ada komentar:

Posting Komentar